Maqomat dalam Tasawuf : Ma'rifat & Ridho
A. Konsep Maqam Ma'rifah dalam Tasawuf
1. Pengertian dan Konsep Maqomat Ma’rifat
Manurut bahasa, ma’rifat berasal dari kata `arafa, ya’rifu, `irfân, ma’rifah, yang artinya pengalaman atau pengetahuan. dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi dari pada ilmu yang biasa didapati oleh orang-orang pada umumnya. Ma’rifah adalah pengetahuan yangmana obyeknya bukan pada sesuatu yang bersifat dzahir, akan tetapi lebih terhadap batin.
Menurut Harun Nasution, ma’rifah digunakan untuk menunjukkan pada salah satu tingkatan dalam tasawuf. Dalam arti sufistik ini, ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Pengetahuan itu demikian lengkap dan jelas sehingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya itu, yaitu Tuhan.
Menurut Imam Al-Ghazali, Ma’rifat adalah upaya untuk mengenal Tuhan sedekat-dekatnya yang diawali dengan pensucian jiwa dan dzikir kepada Allah secara terus-menerus, sehingga pada akhirnya akan mampu melihat Allah dengan hati nuraninya. Ma’rifat juga merupakan sumber dan puncak kelezatan beribadah yang dilakukan oleh seorang manusia di dunia. Dengan demikian manusia akan memperoleh kesenangan yang luar biasa dari yang lainnya.
2. Mempersiapkan Maqomat Ma’rifat
Menurut Maulana Al habib Muhammad Luthfi bin ali bin yahya, ma’rifat atau mengenal Allah ada ilmunya. Pertama adalah ilmu tauhid yakni mengesakan Allah, ilmu tauhid adalah ilmu yang membahas adanya Allah dengan sifat-sifatNya, yang wajib, yang mustahil dan yang jaiz, serta pembuktian atas kerasulan para rasul-Nya dengan sifat-sifat mereka yang wajib, mustahil dan jaiz. Sedangkan yang kedua adalah sunnah-sunnah Baginda Nabi Muhammad SAW, yang merupakan bekal untuk ma’rifat kepada Allah dan dengannya pula ma’rifat kepada Allah akan meningkat dalam bentuk pengabdian kepada-Nya. Dan untuk mengerti dan mengenal Allah SWT, kita memerlukan bimbingan seorang guru dan mengikuti thoriqohnya, bila tidak maka akan sulit rasanya untuk mengenal Allah
Selanjutnya kita perlu alat untuk menuju maqomat ma’rifat, alat yang dapat digunakan untuk mencapai maqomat ma’rifat pada dasarnya telah ada dalam diri kita yakni Qalb atau hati, namun qalb selain alat untuk merasa adalah juga alat untuk berfikir. Bedanya qalb dengan akal ialah bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan, sedangkan qalb bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada, dan jika dilimpahi cahaya Tuhan.
3. Tokoh Pengembang Maqomat Ma’rifat
Ada dua orang tokoh yang mengenalkan paham ma’rifat, yakni Al-Ghazali dan Dzun Nun al Misri.
Al-Ghazali mengatakan, ma’rifat adalah “nampak jelas rahasia rahasia ke Tuhanan dan pengetahuan mengenai susunan urusan ke Tuhanan yang mencakup segala yang ada.” Lebih lanjut al-Ghazali mengatakan, ma’rifat adalah memandang kepada wajah Allah.
Ma’rifat menurut Dzu Nun Al-Misri adalah pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Menurutnya ma’rifat hanya terdapat pada kaum Sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan hati sanubari mereka. Pengetahuan serupa ini hanya dapat diberikan Tuhan pada kaum Sufi. Ma’rifah dimasukkah Tuhan ke dalam hati sorang Sufi, sehingga hatinya penuh dengan cahaya.
4. Ma’rifat dalam Al-Quran dan Al-Hadis
Pengetahuan tentang rahasia-rahsia dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-Nya melalui pancaran cahaya-Nya yang dimasukkan Tuhan kedalam hati seorang Sufi. Dengan demikian ma’rifat berhubungan dengan nur (cahaya Tuhan). Di dalam al-Qur’an, dijumpai tidak kurang dari 43 kali kata nur diulang dan sebagian besar dihubungkan dengan Tuhan. Seperti ayat yang berbunyi:
ومن لم يجعل الله له نورا فما له من نور
Artinya :Dan barang siapa yang tidak diberi cahaya (cahaya) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.(Q.S. An Nur, 24:40)
Dalam hadis kita jumpai sabda Rasulullah dalam hadits qudsi yang berbunyi :
كنت حزينة خا فية احببت ان اعرف فخلقت الخلق فتعرفت اليهم فعرفوني
Artinya : Aku (Allah) adalah perbendaharaan yang tersembunyi (Ghaib), Aku ingin memperkenalkan siapa Aku, maka ciptakanlah Makhluk. Oleh karena itu aku memperkenalkan diri-Ku kepada mereka. Maka mereka itu mengenal Aku. (hadits Qudsi)
Hadits tersebut memberikan petunjuk bahwa Allah dapat dikenal oleh manusia. Caranya dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya. Ini menunjukkan bahwa ma’rifat dapat terjadi, dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
B. Konsep Maqam Ridha Dalam Tasawuf
1. Pengertian dan Konsep Maqomat Ridho
Kata ridha berasal dari kata radhiya, yardha, ridhwanan yang artinya “senang, puas, memilih persetujuan, menyenangkan, menerima”. Dalam kamus bahasa Indonesia, ridha adalah “rela, suka, senang hati, perkenan, dan rahmat”. Ibnu Ujaibah berkata bahwa ridha adalah menerima kehancuran dengan wajah tersenyum, atau bahagianya hati ketika ketetapan terjadi, atau tidak memilih-milih apa yang telah diatur dan ditetapkan oleh Allah, atau lapang dada dan tidak mengingkari apa-apa yang datang dari Allah.”
Syekh Zunnun al Misri berkata bahwa ridha adalah keadaan hati seseorang yang selalu merasa bahagia dengan apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT atas dirinya.
Dapat dikatakan bahwa ridha itu sebagai perpaduan antara sabar dan tawakkal yang kemudian melahirkan sikap mental yang tenang menerima segala situasi dan kondisi.
Ridha merupakan prestasi tinggi yang diperoleh oleh seorang sufi dalam perjalanan hidupnya, selain itu maqam ridha sulit dicapai oleh seorang hamba, kecuali orang-orang yang telah dikehendaki dan dipilih oleh Allah Swt., Zunnun al Misri berkata, “Tanda-tanda orang yang telah mencapai ridha ada tiga", yaitu:
1. Meninggalkan usaha sebelum terjadi ketentuan (takdir).
2. Hilangnya rasa resah gelisah setelah terjadi ketentuan Allah.
3. Cinta yang mendalam dikala menghadapi cobaan pada dirinya dengan hati yang senang dan gembira.
2. Ridho dalam Al-Quran dan Al-Hadis
Firman Allah :
Q.S. Al-Fajr : 27-30
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ (27) ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً (28) فَادْخُلِي فِي عِبَادِي (29) وَادْخُلِي جَنَّتِي (30)
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 27-30)
Dalam hadits atha’, Ibnu Abbas berkata: Ketika Rasulullah SAW menemui sahabat – sahabat Anshor, Beliau bersabda: ”apakah kamu orang – orang mukmin?” , lalu mereka diam, maka berkatalah Umar : “ Ya, Rasulullah”. Beliau SAW bersabda lagi: “ apakah tanda keimananmu?”, mereka berkata: “ kami bersyukur menghadapi kelapangan, bersabar menghadapi bencana, dan ridha dengan qada’ ketentuan Allah”, kemudian Nabi SAW bersabda lagi:”Orang- orang mukmin yang benar, demi Tuhan Ka’ba”.
Dalam hadits diatas diterangkan dengan jelas bahwa ridha merupakan tanda dari keimanan seseorang, ridha adalah suatu maqam mulia karena didalamnya terhimpun tawakal dan sabar.
Ridha tidak berarti menerima begitu saja cobaan yang diberikan oleh Allah swt. Walaupun dalam pengertiannya, ridha berarti menerima apa yang diberikan Allah dengan sabar dan ikhlas, bukan berarti tanpa ada keinginan maupun usaha untuk mengubah situasi yang telah terjadi menjadi lebih baik lagi.
Mereka yang ridha, dapat merasakan hikmah dan kebaikan Dzat yang mendatangkan ujian. Mereka tidak berburuk sangka kepadaNya. Disaat yang lain menghayati betapa Dia Maha Agung, Maha Mulia dan Maha Sempurna. Mereka bahkan dapat menikmati musibah yang menimpanya, karena mereka tahu bahwa musibah itu datangnya dari Dzat yang dicintainya.
Komentar
Posting Komentar